smile

share for smile

Tersenyumlah

Seketika tatapanku kabur. Bayang-bayang keadaan berlari-lari manja dalam benakku, menolak penegasanmu. Juga menolak kebenaran yang kau ungkap berkali-kali. Kau membuatku benci penegasan. Bahkan, hanya sekedar menerima saja, kini aku enggan. Aku capek. Aku bosan. Aku sedih. Aku takut. Dan aku benci penegasanmu, benci dirimu!!!

Kupejamkan mata sekali lagi. Menyelami hati yang mulai terasa perih, terajam halus berlarut-larut. Tanpa sisa. Aku benci dirimu. Ingin kukatakan tanpa henti, aku benci dirimu. Dentuman berat ini menghantam kuat, tepat di sisi tersembunyi, sisi lemahku, yang rapuh. Inginku lagi tak peduli, tapi aku...sakit...benar-benar sakit.

“Kamu kenapa?” terdengar suara lirih dari hadapanku. Kubuka mataku yang sempat menikmati lamunan dalam gelap. Aku diam. Hingga menit berganti pun, aku masih kekeuh, tak bergeming. Diam dan kosong. Kualihkan pandangan ke sudut tiang kokoh di ujung sana. Tak kutemukan apa-apa. Pun jawaban untuk pertanyaan singkatmu. Hanya bias putih, mencekamku.

“Aku tidak apa-apa,” jawabku cepat. Cukup itu. Rangkaian kalimat yang biasa terurai panjang, lenyap seketika. Aku tak bisa berucap banyak. Bahkan, sekedar ungkapkan sakitnya hatiku, aku tak bisa. Lantas, aku harus bagaimana? Melihatmu pun sepertinya aku tak mampu.

Aku paham, penegasanmu tak pernah salah. Aku yang salah. Salah datang tiba-tiba, salah telah mengusikmu, dan salah bersikap hingga kau tahu semua. Ya, aku salah. Tapi, egoku enggan menerima. Menolak nurani yang membenarkan.

Ingin kutanyakan padamu. Salahkah perasaan ini tiba-tiba hadir? Salahkah rasa ini terlanjur menjuntai indah? Salahkah rasa ini turut menyemaikan bunga senyum? Bukankan rasa ini adalah fitrah yang Allah berikan pada semua hamba-Nya? Kamu salah! Begitu ucapmu tegas.

“Kamu kenapa? Jangan murung. Harus bersemangat seperti tadi,” katamu. Aku masih saja menunduk. Berharap kutemukan jawaban tepat yang tengah liar di lantai. Masih tak ada. Kucoba angkat kepalaku. Melihatmu dengan tatapan yang aku sendiri tak dapat mengartikannya. Kosong. Aku menunduk lagi.

Harus bersemangat seperti apakah diriku? Layaknya pemenang lotre dengan segenggam senyum di tangan? Ataukah seperti sang ibu yang tengah bercerngkerama masa depan dengan buah hatinya? Harus seperti apa? Aku tak bisa. Menarik dua sisi bibir, menyunggingkan sebuah senyuman, aku pasrah. Masih tak bisa. Bagaimana bisa aku melakukan itu, sedang ribuan belati mengiris, perih. Teringat dirimu, teringat penegasanmu. Penegasanmu yang tak pernah salah.
***
“Aku ingin bicara,” ucapmu sedikit gugup. Tergambar jelas kau tengah merangkai kata yang tepat. Ya, tepat untuk kau lontarkan padaku tanpa ingin membuatku sakit hati. Seperti yang sering kau ucap. Aku paham, lagi-lagi benar-benar paham. Bahkan sebelum kau berkata pun, aku tahu itu.

“Tentang apa mas?” tanyaku tanpa penasaran. Ini mungkin kali ketiga, keempat, atau bahkan kesembilan, kau mengawali pembicaraan dengan wajah serius. Wajah yang tak kutemukan ketika tawa lepasmu menghilangkan semua kepedihan. Bola matamu kembali berputar, sedikit bimbang, mencoba menemukan kalimat sempurna.

“Kamu memposisikan aku seperti apa? Kakak atau...,” kalimatmu menggantung begitu saja. Senyum jahilku kambuh. Tertawa lepas begitu saja mendengar pertanyaanmu. Mencoba menutupi risau. Aku takut salah, salah memberikan jawaban yang sempurna pula.

“Kenapa mas tiba-tiba menanyakan hal itu lagi? Takut perasaanku bertambah kuat ya?” tanyaku tetap diselingi tawa. Bukan menertawakan. Bukan pula merasa lucu. Hanya saja, ini terlampau sering ditanyakan. Hingga aku sendiri bingung harus memberikan jawaban seperti apa. Sejak saat itu. Sejak kamu tahu rasa ini telah melintasi saharamu.

“Jujur saja, aku merasa sikap kamu aneh. Ini kulihat dari kacamata laki-laki. Kamu punya perasaan lebih ya ke aku?” Bagai dihantam petir di siang hari, aku kaget. Bagaimana bisa perasaan yang kusembunyikan rapi dari pintu-pintu yang gamblang itu diketahuinya?Adakah sikapku yang salah?Adakah ulahku yang merisaukannya?Pasti ada.

“Kata siapa aku aneh. Aku biasa saja mas,” kucoba mengalihkan. Aku salah. Salah berbohong, padamu, juga pada diriku. Maaf ya Allah! Sebaris kalimat jujur ini tertahan kelu. Kubilang, aku hanya nyaman. Nyaman dengan dirimu yang mampu menempati tiga posisi di hidupku. Sebagai ayahku, kakakku, dan sahabatku. Kau, yang selalu mengajarkan banyak hal. Tentang tersenyum, bangkit, dan ketulusan untuk bersabar. Kau ajarkanku hal yang ingin kudapat dari ayah. Kau ingatkan aku layaknya seorang kakak. Kau dengarkan aku ketika aku bimbang. Aku nyaman, sekaligus takut. Takut memandangmu lebih, takut kau benci aku.

“Terbuka saja. Aku lebih menghargai orang yang jujur. Aku sudah beberapa kali mengalami hal seperti ini. Tapi maaf, aku tak ada maksud apa-apa. Sikap baikku sama ke kamu dan yang lain,”ucapmu lamat-lamat. Aku tersenyum getir, tapi hatiku tak sakit. Aku tahu, sangat tahu, hatimu telah menyatu di padang lain. Aku justru kagum pada hati yang kau jaga tujuh tahun silam. “Jangan berubah sikap hanya karena ucapanku. Jangan menghindar,” katamu lagi. Batin ini hanya bisa berucap “terima kasih”, untuk segala pengertianmu.

“Tenang saja mas, bagiku mas tetap ayah, kakak, dan sahabat yang baik buatku. Jadi, buat apa aku menghindar,” jawabku tersenyum simpul. Aku lega. Aku bahagia, bahagia bisa mengenalmu. Mengenal senyummu, mengenal kejujuranmu.


“Kalau kubilang “iya”? Aku khawatir melihat sikapmu. Aku tak mau kamu jadi bergantung padaku,” ucapmu membuyarkan lamunanku. Bergantung? Tak salah dengarkah aku? Aku takut, entah berapa kali kau membuatku takut. Tapi, aku sungguh takut dibilang bergantung. Takut sikapku hanya membuatmu jengah. Takut, lagi-lagi, kau benci diriku yang bukan siapa-siapamu.

“Kenapa aku dibilang bergantung? Aku memposisikan mas tetap sama seperti yang dulu. Sebagai kakak dan sahabatku,” tuturku lancar. Dan aku tetap mengagumimu, hatiku turut menjawab. Jangan tanya seberapa kuat perasaan ini, karna aku sendiri tak tahu. Mengisi penuhkah? Ataukah terdampar pasrah, pergi? Aku tak tahu. Fitrah ini mengalir begitu saja. Terjaga sejak setahun silam. Menyeruak tanpa izin, menutup semua pintu untuk yang lain. Maaf!

“Tapi, aku tidak yakin dengan jawabanmu. Mungkin ini telah menjadi kebiasaan. Bukankah kebiasaan ini bisa hilang jika mereduksi komunikasi? Bagaimana kalau kita menghentikan komunikasi selama seminggu? Aku hanya menawarkan. Kalau kamu merasa tak sanggup, ya sudah. Aku tak memaksa. Kita cari cara lain untuk menghilangkan perasaan kamu,” jelasmu panjang-lebar.

Sontak mataku beralih pandang, mencerna setiap susun kata yang kau ucap. Aku terdiam. Memaknai penuturanmu. Aku harus menghilangkan perasaanku. Boleh aku bertanya, kenapa? Karena aku salah? Ya, aku salah, hingga kau bilang berulang kali untuk menghapusnya. Membuat perasaanku carut-marut seketika. Bagaimana caranya? Tekan “delete” saja atau harus “close”? Semudah itu.

“Mas ingin rasa ini benar-benar hilang? Kenapa selalu memaksa? Kenapa tidak bersikap biasa saja seperti yang mas katakan dulu?” berondongku tajam, tanpa celah. Aku capek. Dengan segala pertanyaan yang tak henti kau paksakan. Aku manusia biasa, ingin berusaha tapi tak bisa. Bukankah perasaan itu makin kuat ketika berusaha dienyahkan? Dan aku tak ingin memaksa. Hanya membiarkan apa adanya.

“Kamu luar biasa. Sudah seharusnya mengagumi orang yang luar biasa. Aku ini orang yang buruk. Seringkali minder dengan diriku sendiri. Kamu mengagumi orang yang salah, di waktu yang salah, dan tempat yang salah,” ujarmu perlahan. Termenung. Teringat pujianmu kala itu.

“Aku kagum padamu,”
“Bohong. Apa yang membuat mas kagum? Aku biasa saja. Malah banyak kekurangan. Aku itu pelupa, suka ngantuk, dan banyak kekurangan lainnya,”
“Iya, kamu memang pelupa. Tapi, kamu itu tegar, multitasking, cerewet, lucu, dan perhatian,”


Aku ingat senyumku merekah. Meski itu sebuah kebohongan, aku bahagia. Terima kasih untuk pujianmu. Terima kasih menganggapku ada, meski hanya kesemuan yang mudah tersingkir. Terima kasih. Aku tak peduli saat kau kau bilang aku belum mengenalmu. Aku tak peduli wajah asli yang kau tutupi. Seburuk apapun dirimu, aku mengagumimu. Hanya itu. Tak bolehkah?

“Aku tahu ini waktu yang salah, aku tahu ini bukan tempat yang tepat. Tapi, aku tak merasa kalau mas adalah orang yang salah,” ungkapku tenang.

“Buka hatimu untuk orang lain. Dia memperhatikanmu, dia baik. Kalau kamu tak bisa menghapusnya, dia tak akan bisa mengisi hatimu,” lagi-lagi kau tekankan itu. Kau menyebut tentang dia. Sosok yang peduli padaku beberapa bulan terakhir. Sosok yang datang tiba-tiba, tapi tak mampu membuka sang pintu yang telah tertutup rapat-rapat. Ya, aku belum mengizinkannya. Dan aku sakit... tiap kali kau tuturkan pintamu itu.
***
“Kamu kenapa? Terbebani dengan kata-kataku kemarin?” Mungkin aku harus berteriak, sekedar membenarkan. Syaraf-syaraf ini telah lelah. Dipaksa mencari jawaban yang harus dilakukan. Dan benar, paksaan bukanlah kepastian. Aku justru sakit. Sendiri, berusaha, tanpa bisa berkata.

Tersenyumlah meski hatimu pedih. Bukan untuk dirimu sendiri, tapi untuk orang lain. Karena tanpa kamu sadari, ada orang yang bahagia melihat kamu tersenyum.
Sebuah message singkat kuterima darimu. Kembali meminta senyumku yang telah hilang tiga hari ini. Aku lupa. Lupa bagaimana cara tersenyum. Lupa bagaimana harus mulai menata hati yang teriris sembilu. Aku lupa semua itu. Hingga posiitif thinking yang usai kupelajari pun, menguap begitu saja. Aku harus bagaimana? Jawab, tolong!

Mungkin benar kata sahabatku, tak seharusnya aku memiliki perasaan lebih terhadapmu. Hanya melihatmu sebagai sosok kakak. Sebatas itu, tak lebih. Aku tak meminta. Sungguh, aku tak minta rasa ini terlahir untukmu. Aku tak memohon kamu peduli padaku. Kamu baik, itu cukup.

Aku tahu, aku akan sakit, berkali-kali ketika rasa ini tak kunjung kuhapus. Bukankah bahagia dan kecewa, kita bia rencanakan? Biarlah, aku sakit. Saat ini saja. Aku ikhlas. Ikhlas  melepaskan semua rasa. Melihatmu bahagia, justru itu yang kudamba. Aku akan belajar, membuka sedikit pintu bagi dia. Ya, dia..dan siapapun pengunjung yang datang tiba-tiba. Tapi, bolehkan rasa ini tetap kujaga? Entah sampai kapan masanya. Aku tak peduli. Allah mengaturnya. Menyiapkan misteri yang tak kita duga. Berharap akan indah pada waktunya.

Aku janji, esok aku akan melihatmu dengan sebuah senyuman. Bukan untukku, pun untukkmu, hanya untuk mereka yang menyayangiku dan merindukan senyumku.

Surabaya, 3 Mei 2012
Untukmu yang terasa jauh di ujung sana
Labels : Free Wallpapers | Supercar wallpapers | Exotic Moge | MotoGP | Free Nature | car body design

0 komentar:

Posting Komentar