Wajahnya benar-benar menampakkan jelas usianya yang tak lagi muda. Penuh kerutan, rambut pun telah berubah warna. Satu hal yang yang pernah tertinggal dari wajahnya adalah kacamata yang setia bertengger manis di hidung mancungnya. Dialah bapak penjahit sebelah kos saya. Tanpa tahu namanya, ia seperti seorang kakek bagi saya.
Sebutan kakek rasanya memang terlalu kejam untuk bapak satu ini. Karna usianya pun tidak bisa dibilang kakek-kakek. Mungkin sekitar 55-an. Mungkin, tapi rasanya lebih dari itu hehe. Sudahlah, saya memang tak pandai menaksir usia orang.
Dia ramah, suka bercerita banyak hal pula. Cerita keluarga hingga rumah gedongnya yang melebihi luas kantor kelurahan dekat kos saya pun sudah masuk daftar kisahnya. Cerita ini pun baru saya dengar tadi pagi sebelum berangkat kuliah. Dan akhirnya, kuliah saya telat setengah jam. Fantastis, saya langsng dicoret dari daftar yang masuk hari itu. Hmm...semester lalu pernah mengalami hal serupa. Taka apa, tinggal mengikuti sisa waktu kuliah dengan baik sembari berdoa. :)
Back to Mr Tailor, saya kenal bapak penjahit ini sekitar dua tahun lalu. Tepatnya, sejak saya menginjakkan kaki di kos Jalan Arif Rahman Hakim 102 samping kanan minimarket Mawaddah (hehe). Hampir setiap kali saya ingin menjahit baju, pasti lah bapak itu yang menjadi langganan saya dan teman-teman. Simple saja, jahitannya memang terlihat apik, rapi, dan sesuai keinginan si empunya. Tak heran, tempat jahitnya selalu ramai dengan pengunjung setia.
Jujur saja, saya senang melihatnya hari ini. Dua bulan terakhir, tak saya temui wajahnya apalagi deru mesin jahitnya. Ya, dia sakit parah. Hingga makan nasi pun sudah tak bisa. Cukup roti dan susu, seperti yang tengah saya alami kali ini.
"Saya sakit perut parah, harus terapi sepuluh hari lho,"
Miris, saya tak tahu. Andai saya tahu, pasti sudah saya jenguk dengan sekeranjang buah-buahan. Pertanyaanya, mau jenguk kemana? maaf, saya baru tahu alamat rumahnya 14 jam lalu. Sidosermo gang 5, rumah lantai 2 yang luasnya melebihi kantor kelurahan. Oke, akan saya ingat dengan jelas.
Masih dengan wajah pucatnya, ia menjelaskan sakit parahnya. Bhakan, opname yang harus dijalani tapi ia tangguhkan begitu saja. Kenapa?
"Saya tidak ingin merepotkan siapa pun"
Begitu katanya, termasuk jelas merepotkan keluarganya. Sakit hingga sebegitu rupanya, ia tak ingin meminta uang dari tiga anaknya yang sudah bekerja. Iya kalau anaknya punya uang, begitu pikirnya. Nyatanya, tak hanya keluarga dekat, keluarga jauh beserta tetangganya tak mencium bau sakitnya.
"Keluarga saya jauh-jauh. Kasihan kalau harus datang kesini cuma melihat saya sakit. Lebih baik ongkos perjalanannya mereka simpan,"
Saya hanya terdiam mendengar penuturannya.
"Saya tidak mau mengganggu kesibukan tetangga. Mereka pasti sudah repot. Biar ini saya tanggung sendiri,"
Saya, lagi-lagi, terdiam. Baginya, sakit ini milik Allah. Ia hanya bisa berdoa agar diberi kesembuhan. Amin.
Meski hari ini masih sakit, ia pun tak mengatakan apapun pada istri dan anak bungsunya. Hanya ungkapan "saya baik-baik saja", ia mengawali kebiasaan menjahit seperti dahulu. Sebenarnya, saya masih terheran-heran, jika rumahnya saja segedong itu, lantas buat apa dia kerja lagi.
"Tak ada uang, mbak. Nanti kalau butuh bayar pengobatan, masa saya mau minta anak. Lha, kalau libur kerja, tak ada pemasukan,"
Luar biasa. Meski baru bercerita sebagian kecil kehidupannya, saya senang mendengarkannya. Saya hanya bisa berharap, bapak penjahit baik hati ini segera sembuh dan diberikan kemudahan.
:)
Labels : Free Wallpapers | Supercar wallpapers | Exotic Moge | MotoGP | Free Nature | car body design
0 komentar:
Posting Komentar